JAKARTA - Karena dilakukan tanpa konfirmasi, hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 14 perusahaan Asian Agri dinilai tidak valid.
Demikian diutarakan mantan Deputi Ketua Pengawasan Khusus BPKP periode 1983-189 Suyatna Sunu Brata, Kamis (13/10), saat menjadi saksi ahli dalam persidangan pidana pajak Asian Agri dengan terdakwa Suwir Laut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Menurut dia, konfirmasi diperlukan untuk menemukan hakikat suatu transaksi atau peristiwa yang diaudit tersebut."Laporan investigasi tanpa ada konfirmasi tidak valid," tegasnya, menjawab pertanyaan Luhut Pangaribuan tim kuasa hukum terdakwa Suwir Laut.
Terkait dengan hasil audit BPKP terhadap Asian Agri yang didasarkan pada Berita Acara pemeriksaan (BAP) dan beberapa dokumen yang hanya berupa fotokopi, saksi Suyatna menyatakan bahwa laporan audit itu nilainya nol atau tidak valid.
Dia menambahkan, BPKP bisa melakukan audit terhadap perusahaan swasta jika diminta oleh instansi penyidik, namun tidak bisa menilai."BPKP tidak memiliki wewenang melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan swasta, karena ruang lingkup BPKP adalah lembaga pemerintah," terangnya.
Suyatna juga mengatakan bahwa BPKP bisa melakukan audit terhadap perusahaan swasta jika diminta oleh instansi penyidik, namun tidak bisa menilai.
Sementara itu ahli pidana Chairul Huda yang dihadrikan seabgai saksi kedua menegaskan, dalam kasus ini seharusnya diselesaikan melalui administrasi terlebih dahulu. Sebab, katanya, hukum pajak lebih mengedepankan ketaatan administrasi daripada menjerat pidana.
"Peraturan di bidang administrasi memerlukan alat pengaman supaya norma administrasinya ditaati. Pengaman ini yaitu pidana sehingga dalam hukum pajak yang didahulukan adalah penyelesaian administrasi. Hal ini berbeda dengan prinsip pidana dalam KUHP dan UU Terorisme," tukasnya.
Selain itu, delik pidana kasus pajak adalah delik meteriil yaitu perbuatan pidana terpenuhi dan terbukti merugikan pendapatan negara. Selama kerugian tersebut tidak terjadi maka tidak ada pidana. Berbeda dengan delik korupsi yang merupakan delik formil yaitu meski kerugian negara telah dikembalikan maka tetap ada pidana.
"Dilihat dari artinya dan dihubungkan dengan pidananya, menunjukkan bahwa ini delik materiil. Harus ada kerugian negara, baru terpenuhi," jelas Huda.
Seperti diketahui, JPU telah mendakwa manajer Perpajakan Asian Agri, Suwir Laut dengan pasal 39 ayat 1 huruf c Undang-Undang No 16/2000 tentang Pajak. Suwir Laut diduga telah menyampaikan SPT yang tidak benar atau tidak lengkap untuk tahun pajak 2002 hingga 2005.
Akibat kekeliruan ini menimbulkan kerugian negara Rp 1,296 triliun dengan ancaman hukumannya paling sedikit 6 tahun penjara. (Ramdani)