JAKARTA - Untuk menghindari perdebatan antara pro dan kontra atas isu ”kriminalisasi pers”, sebaiknya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers perlu direvisi. Karena didalam undang-undang tersebut belum memuat pasal atau ketentuan ( klausul) yang mengatur secara khusus tentang prosedur atau mekanisme penyelesaian kasus yang menyangkut pers, terkait delik fitnah atau menyatakan kebohongan, pencemaran nama baik, dan penghinaan melalui pemberitaan.
Hal ini disampaikan Kepala Biro Penerangan Umum Hubungan Masyarakat (Karo Penmas) Mabes Polri Brigjen (Pol) Ketut Untung Yoga Ana dalam acara diskusi panel delematis penerapan UU nomor 40/1999 tentang Pers dalam penyelesaianmasalah pemberitaan, yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Provinsi DKI Jakarta di Jakarta Press Center gedung Prasada Sasana Karya, jalan Suryopranoto Jakarta Pusat, jumat lalu.
Menurut Untung Yoga, terkait kasus fitnah atau pencemaran nama baik yang melibatkan pers, dalam prinsip praktek penegakan hokum, penyidik Polri tidak dibenarkan melakukan penafsiran sendiri atas klausula hokum positif yang ada. Ketentuan dalam UU sejauh tidak bertentangan satu sama lain, dan tidak boleh saling mengabaikan atau meniadakan.
”Sebetulnya yang diperlukan adalah kepastian hukum dengan adanya unifikasi produk hukum yang mengatur perbuatan materiil tentang fitnah atau pencemaran nama baik yang mengikat bagi aparat penegak hukum karena penyidik dan penuntut umum tidak boleh membuat penafsiran sendiri terhadap aturan hukum positif yang berlaku,” ujar Untung Yoga.
Selain Karo Penmas Mabes Polri, hadir pula pembicara lain dalam diskusi panel tersebut yaitu dari Mahkamah Agung yang didelegasikan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Niaga/ HAM/Tipikor Jakarta Pusat Syahrial Siddik,dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachma serta Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti.
Penjelasan umum UU No 40/1999 tentang Pers pada paragraf ketujuh menyatakan, ”Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, Undang-Undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan lainnya, dalam penjelasan Pasal 12 antara lain dijelaskan sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku” papar Untung.
Dalam hal ini, UU No 40/1999 tentang Pers yang terdiri dari 10 bab dan 21 pasal sama sekali tidak mengatur delik fitnah atau menyatakan kebohongan, pencemaran nama baik, dan penghinaan. Delik pidana ini diatur dalam Pasal 310, 311 dan 315 KUHP.
Sedangkan di dalam UU Pers itu tidak ada pasal atau klausul yang mengatur secara khusus tentang prosedur atau mekanisme penyelesaian kasus yang menyangkut pers.
Dalam UU tersebut, juga tak ada pengaturan yang menegaskan bahwa masyarakat yang mempunyai persoalan dengan pers harus terlebih dahulu menempuh tahapan langkah menggunakan hak jawab, melapor ke Dewan Pers, sebelum menuntut secara pidana.
”Undang-Undang Pers itu delik umum dan membuka ruang bagi UU lain. Kalau saja wartawan dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan kode etik jurnalistik dan UU Pers, tidak akan pernah tersangkut masalah hukum ” kata Noor Rachmad. (Ramdhani)
27 Maret 2011
Staff Redaksi
Hendrik S (Polda Metro Jaya) (Jaksel) Robin S (Jaktim) Ramdani BE (Jakpus) (Jakut) Biro Bekasi :Sepmi R (Kabiro) , Joni Sitanggang, Binton Juntak, Mustofa, Ringan Simbolon, Haerudin, Herman Sitanggang, Mulayadi TH, Togar S, Banjarnahor, Syafi'i M, Biro Kab.Bogor :(Kabiro), Depok : Radot S, (Kabiro), Karawang : Ade Junaidi (Kabiro), Rihas Purnama YM, Edi Askam, Mustamir, Otong, Wawan, Junaedi, Sopyan Junior, Mumuh MuhamadMursid. Perwkln Jabar: Idris C.Pasaribu (Ka Prwkl), Ungkap M, Deni Ridwan, Parasman. Biro Cimahi : Prwkln Lampung : Prwkln Jambi : Sabarudin Nasution SE (Ka.Prwkl), Biro Tanjabbar : Hasbullah Biro Kab/Kota Siantar : Buhardo Siahaan. Biro Sulselbar : (Ka.biro)