Jakarta - Mantan manager tax PT Asian Agri, Suwir Laut, menegaskan bahwa laporan pajak PT Asian Agri telah melalui proses audit sehingga tidak menyalahi aturan hukum.
Hal ini dilontarkan Suwir, saat memberikan keterangan dalam sidang lanjutan kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/11/2011).
Menurut Suwir, laporan pajak PT Asian Agri yang tertuang dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPH, telah dilakukan proses audit untuk diperiksa apakah laporan tersebut bermasalah atau tidak.
"Malah dalam pemeriksaan keuangan, kami juga pernah dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), predikat bagus yang masalah keuangan. Artinya memang laporan kami tidak masalah," ujar Suwir Laut yang menjadi terdakwa dalam kasus ini.
Pernyataan ini merupakan bantahan atas tudingan Jaksa Penuntut Umum, yang menuduhnya telah menyusun SPT tidak benar atau tidak lengkap untuk tahun pajak 2002 hingga 2005. Akibatnya, menimbulkan kerugian negara Rp1,259 triliun (versi BPKP Rp1,294 triliun).
Selain itu, salah satu kuasa hukum Suwir Laut , M. Asegaf menyatakan, dakwan JPU yang mendakwa Suwir Laut dengan tunduhan melakukan penggelapan pajak sangat tidak beralasan.
Karena, lanjut Asegaf, JPU hanya memeriksa laporan pajak PT Asia Agri hanya berdasarkan laporan BPKP.
"Mereka kan hanya mendakwa berdasarkan laporan di akhir saja. Seharusnya, Jaksa melakukan pemeriksaan dari awal mengenai laporan pajak tersebut. Ini terlihat sebagai upaya Jaksa untuk menyakinkan hakim, agar terkesan adanya biaya fiktif (Pajak). Menurut dakwaan JPU tidak punya kekuatan hukum," kata Asegaf.
M Asegaf juga mengaku kecewa lantaran masalah pajak ini dibawa ke pengadilan pidana.
"Ini kan kasus pajak, beda dengan kasus korupsi. Kalau di pajak, ini utang. Bukan pidana korupsi yang merugikan negara," tukasnya.
Sebelumya Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Suwir Laut dengan pasal 39 ayat 1 huruf (c) Undang-Undang No 16 Tahun 2000 tentang Pajak.
Suwir dituduh menyusun SPT tidak benar atau tidak lengkap untuk tahun pajak 2002 hingga 2005. Ia diancam hukuman kurungan penjara 6 tahun dan denda empat kali dari nilai kerugian yang diderita negara. (MR)
Hal ini dilontarkan Suwir, saat memberikan keterangan dalam sidang lanjutan kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/11/2011).
Menurut Suwir, laporan pajak PT Asian Agri yang tertuang dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPH, telah dilakukan proses audit untuk diperiksa apakah laporan tersebut bermasalah atau tidak.
"Malah dalam pemeriksaan keuangan, kami juga pernah dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), predikat bagus yang masalah keuangan. Artinya memang laporan kami tidak masalah," ujar Suwir Laut yang menjadi terdakwa dalam kasus ini.
Pernyataan ini merupakan bantahan atas tudingan Jaksa Penuntut Umum, yang menuduhnya telah menyusun SPT tidak benar atau tidak lengkap untuk tahun pajak 2002 hingga 2005. Akibatnya, menimbulkan kerugian negara Rp1,259 triliun (versi BPKP Rp1,294 triliun).
Selain itu, salah satu kuasa hukum Suwir Laut , M. Asegaf menyatakan, dakwan JPU yang mendakwa Suwir Laut dengan tunduhan melakukan penggelapan pajak sangat tidak beralasan.
Karena, lanjut Asegaf, JPU hanya memeriksa laporan pajak PT Asia Agri hanya berdasarkan laporan BPKP.
"Mereka kan hanya mendakwa berdasarkan laporan di akhir saja. Seharusnya, Jaksa melakukan pemeriksaan dari awal mengenai laporan pajak tersebut. Ini terlihat sebagai upaya Jaksa untuk menyakinkan hakim, agar terkesan adanya biaya fiktif (Pajak). Menurut dakwaan JPU tidak punya kekuatan hukum," kata Asegaf.
M Asegaf juga mengaku kecewa lantaran masalah pajak ini dibawa ke pengadilan pidana.
"Ini kan kasus pajak, beda dengan kasus korupsi. Kalau di pajak, ini utang. Bukan pidana korupsi yang merugikan negara," tukasnya.
Sebelumya Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Suwir Laut dengan pasal 39 ayat 1 huruf (c) Undang-Undang No 16 Tahun 2000 tentang Pajak.
Suwir dituduh menyusun SPT tidak benar atau tidak lengkap untuk tahun pajak 2002 hingga 2005. Ia diancam hukuman kurungan penjara 6 tahun dan denda empat kali dari nilai kerugian yang diderita negara. (MR)